TUKAR TAMBAH PERHIASAN EMAS DALAM PERSPEKTIF ISLAM


 

Seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan masyarakat berubah serba praktis dan canggih oleh pengaruh teknologi dari luar, kegiatan seperti jual beli pun sudah mengalami revisi, sehingga akad-akad yang digunakan untuk bertransaksi sudah semakin bervariasi dalam satu kegiatan jual beli saja. Transaksi semakin banyak macamnya untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat, salah satunya jual beli perhiasan emas bahkan sering terjadi prilaku tukar tambah emas. Ada dua persoalan yang dikaji dalam tulisan ini yaitu: Bagaimana Transaksi Jual Beli Perhiasan Emas Dengan Sistem Tukar Tambah, Pandangan Islam Terhadap Tukar Tambah Emas, pandangan negara tentang prilaku tukar tambah emas melalui Fatwa DSN MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 Tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai Dan Tukar Tambah Emas.

Muamalah merupakan sebuah pandangan bagi manusia untuk memperoleh suatu kebahagiaan hidup di dunia maupun diakhirat. Islam mendorong manusia untuk mencari harta kekayaan karena dengan harta memungkinkan seseorang memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga harta merupakan alat kebahagiaan hidup. Muamalah adalah semua hukum syariat yang berhubungan dengan jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa, tukar menukar dan pajak gadai untuk menjaga keharmonisan hubungan masyarakat serta menjaga kestabilan umat Islam, muamalah juga bertujuan untuk menghindari terjadinya penipuan dan penindasan antar sesama manusia.

Hukum-hukum selalu berkaitan dengan tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam hal yang berkaitan dengan hartanya, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, gadai dan lain-lain. Transaksi merupakan aktifitas manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Transaksi-transaksi itu dilakukan untuk semua kehidupan manusia mulai dari kebutuhan pokok, kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier. 

Kegiatan jual beli merupakan hal yang telah ada sejak dahulu kala, dimana manusia mulai hidup secara berkelompok dan kebutuhan hidup semakin meningkat. Jual beli dapat dilakukan dengan menggunakan objek apa saja selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariat dan undang-undang yang berlaku. Rasulullah menyukai ummat-Nya yang melakukan jual beli dengan baik, benar dan sesuai syariat Islam. Selain itu, jual beli dianggap sah apabila sesuai dengan syarat-syaratnya yaitu suci, mendapatkan manfaat dari jual beli, memperhatikan unsur kerelaan. Seperti yang dikemukakan oleh Hendi Suhendi bahwa jual beli adalah menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak miliki dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan. Sebagaimana dalam firman Allah dalam Q.S. An-Nisa' ayat 29

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesuangguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa perdagangan atas dasar suka rela merupakan salah satu bentuk muamalah yang halal. Al-Qur'an memberikan ketentuan-ketentuan hukum muamalah yang mengalami perkembangan dalam pergaulan hidup masyarakat. Salah satu dari bentuk muamalah ada yang disebut dengan pertukaran. Pertukaran berarti menyerahkan suatu komoditi sebagai alat menukar komoditi lain, bisa juga berarti penukaran dari satu komoditi dengan komoditi lainnya, ada juga perdagangan yang mencakup penyerahan satu barang untuk memperoleh barang lain yang disebut saling tukar menukar. Penukaran itu sendiri dalam hukum Islam disebut dengan al-sharf. Bai' sharf yaitu menjual mata uang dengan mata uang (emas dengan emas). Penukaran (al-sharf) adalah jual beli antara barang sejenis atau antara barang tidak sejenis secara tunai. Seperti memperjualbelikan emas dengan emas atau emas dengan perak baik berupa perhiasan maupun mata uang.

Seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan masyarakat berubah serba praktis dan canggih oleh pengaruh teknologi dari luar, kegiatan seperti jual beli pun sudah mengalami revisi, sehingga akad-akad yang digunakan untuk bertransaksi sudah semakin bervariasi dalam satu kegiatan jual beli saja. Transaksi semakin banyak macamnya untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat, salah satunya jual beli perhiasan emas bahkan sering terjadi prilaku tukar tambah emas. Namun dalam hal ini, tukar tambah emas masih menjadi hal yang diperdebatkan banyak orang tentang kehalalan dalam proses transaksinya, karena dalam prakteknya terdapat hal-hal yang ternyata dapat mendatangkan praktek riba, wallahua’lam.

Definisi Tukar Tambah Emas

Perhiasan emas merupakan benda yang digunakan untuk mempercantik dan mendukung penampilan seseorang khususnya wanita. Perhiasan memiliki banyak bentuk seperti bulat, segitiga, kotak, trapesium, line dan masih banyak lagi. Perhiasan tidak hanya dibedakan atas bentuk dan ukuran tetapi juga dibedakan berdasarkan bahan pembuatannya. Salah satu bahan pembuatan perhiasan yang paling populer dari zaman dulu hingga sekarang yakni emas. Kata emas di definisikan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah logam mulia yang harganya mahal, berwarna kuning , dan biasa dibuat perhiasan (seperti cincin, gelang, dan sebagainya). Tidak hanya memiliki kualitas yang baik serta nilai yang tinggi, perhiasan yang terbuat dari emas cenderung memiliki perawatan yang mudah dikarenakan tidak akan berkarat, rusak ataupun menghitam apabila dipakai dalam jangka waktu yang lama. Emas hanya akan terlihat tidak terlalu berkilau apabila dipakain dalam jangka yang panjang dan untuk mengembalikannya kembali berkilau maka dapat dilakukan pencucian emas yang biasanya tersedia diberbagai toko emas. Harga perhiasan terbuat dari emas tergantung pada kadar emas serta desain perhiasan. Semakin tinggi kadar emas maka semakin mahal pula harga emas tersebut. Untuk harga emas tidak dapat dipastikan karena harga emas selalu berubah setiap detiknya dikarenakan oleh nilai mata uang Dollar Amerika.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa perhiasan adalah sebuah benda yang digunakan untuk merias atau mempercantik diri. Perhiasan biasanya terbuat dari emas ataupun perak dan terdiri dari berbagai macam bentuk mulai dari cincin, kalung, gelang, liontin dan lain-lain. Biasanya perhiasan diberikan untuk hadiah. Perhiasan mempunyai bentuk

Perhiasan emas dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mempercantik diri, ada juga sebagian masyarakat yang menggunakan emas sebagai investasi, karena nilai harga emas relatif lebih stabil. Perhiasan emas yang sering dibeli oleh masyarakat mulai dari cincin, kalung, liontin, gelang dan anting. Perhiasan emas memiliki beragam model, seiring berjalannya waktu model perhiasan emas akan berganti dengan model yang terbaru. Banyak masyarakat yang merasa ketinggalan model dengan perhiasan emas yang dimilikinya, sehingga ingin mengganti perhiasan emas yang lama dengan model perhiasan emas yang terbaru. Terjadi transaksi-transaksi jual beli perhiasan emas dengan cara tukar tambah. 

Praktek tentang tukar tambah perhiasan emas, dimana pembeli yang ingin menukarkan perhiasan emas lamanya dengan perhiasan emas yang baru dengan memberi tambahan uang. Pemilik toko menyediakan perhiasan emas untuk konsumennya, dengan catatan perhiasan emas yang ditukarkan itu dibeli di toko emas yang sama dan menunjukkan surat atau nota pembelian. Konsumen yang ingin melakukan tukar tambah perhiasan emas yang lama dengan perhiasan emas yang baru tanpa menjualnya terlebih dahulu.  Transaksi yang dilakukan ini terlihat lazim, namun ketika pembeli menginginkan perhiasan baru dengan kriteria yang telah disebutkan, waktu penyerahan dan harga sesuai harga jual emas pada saat itu (saat terjadi akad) serta telah disepakati antara kedua belah pihak sering terjadi penambahan harga yang tidak sesuai akad di awal. Pembeli menyerahkan perhiasan lama sebagai pembayaran awal, sisanya dapat dilakukan dikemudian hari dan dapat juga dilakukan secara tangguh. Dalam hal ini terdapat beberapa pandangan yaitu:

1.                 Pandangan Islam Terhadap Tukar Tambah Emas

Tukar adalah bertukar, berganti. Sedangkan Tambah adalah bertukar barang dengan memberi tambahan uang. Tentang kebolehan praktek tukar menukar didasarkan pada sejumlah hadis Nabi antara lain pendapat Jumhur yang menunjukkan bahwa menjual emas dengan emas atau perak dengan perak itu tidak boleh kecuali sama dengan sama, tidak ada salah satunya melebihi yang lain.[2] Dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, yaitu: 

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

 

Artinya:

"Dari Ubadah bin Shamith ia berkata bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda: "Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan biji gandum, jagung centel dengan jagung centel, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama dengan sama, tunai dengan tunai, jika berbeda dari macam-macam ini semua maka juallah sekehendakmu apabila dengan tunai". 

Terdapat ketentuan dalam hadis tersebut bahwa menjual emas dengan emas, dan perak dengan perak itu tidak boleh, kecuali jika jual beli itu seimbang dan tunai. Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan rambu-rambu bahwa transaksi dibolehkan dalam Islam, asalkan tidak ada transaksi yang akan saling merugikan atau adanya kecurangan antara yang satu dengan lainnya baik penjual atau pembeli.

Contoh kasus yang banyak terjadi di tempat kita adalah tukar tambah perhiasan emas. Ada orang memiliki perhiasan emas yang sudah lama dipakai. Ketika ingin ganti yang baru, dia datang ke toko emas untuk ditukar dengan yang baru, tentu saja tambahan yang harus dia bayarkan. Tukar tambah emas biasanya dilakukan dengan rumus :

Cicin emas lama + Rp xxx = cincin emas baru

Syaikhul Islam menjelaskan, bahwa kasus mud ajwah wa dirham itu ada 3 bentuk,

Pertama, tujuan utama adalah tukar tambah barang ribawi. Sementara barang yang tidak sejenis ditambahkan karena dijadikan sebagai tambahannya. Transaksi ini jelas hukumnya dilarang. Sebagai contoh, 1 kg beras rojolele, ditukar dengan 1 kg beras ciherang +  uang Rp. 10.000. Transaksi ini dilarang karena tujuan utama adalah menukar barang ribawi dengan yang sejenis, beras dengan beras. Kelebihan Rp. 10.000 adalah riba fadhl.
Syaikhul Islam mengatakan, ika tujuan utamanya transaksi benda ribawi dengan yang sejenis, disertai kelebihan, maka skema transaksi ‘mud ajwah’ ini hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat antara Imam Malik, Ahmad, dan yang lainnya. (Majmu’ Fatawa, 29/27).

Kedua, tujuan utama adalah jual beli selain barang ribawi. Sementara barang ribawi statusnya mengikuti. Semacam ini dibolehkan. Misalnya, tukar tambah pedang. Pedang bukan termasuk barang ribawi. Hanya saja, salah satu pedang mengandung emas, sementara satunya tidak mengandung emas. Untuk menutupi kekurangan harga, diberi tambahan uang. Semacam ini dibolehkan, karena tujuan utama transaksi adalah tukar tambah pedang dan bukan emas.

 

Syaikhul Islam mengatakan,

Bentuk kedua, tujuan utamanya transaksi selain barang ribawi dengan barang ribawi. Hanya saja, keberadaan barang ribawi sifatnya hanya mengikuti atau bagian kecil dari barang, misalnya jual beli pedang yang mengandung sedikit perak dengan pedang yang lain atau semacamnya…. Dalam kondisi ini, pendapat yang benar dalam Madzhab Malik dan Ahmad, hukumnya dibolehkan. (Majmu’ Fatawa, 461)

Ketiga, tukar tambah barang ribawi karena masalah bentuk. Misalnya, tukar tambah cincin emas dengan emas batangan. Atau cincin lama dengan cincin baru. Dalam kasus ini, jika ukuran emasnya diketahui, dan dibarter dengan ada tambahan, maka para ulama berbeda pendapat. Misalnya, si A menukarkan 4 gr emas batangan dengan cincin emas ada ukirannya. Atau tukar tambah antara cincin emas polos 5 gr, dengan cincin emas yang ada mata permatanya. Kita bisa memastikan, bahwa tambahan itu sebagai ganti atas jasa pembuatan ukir atau mata cincin. Syaikhul Islam mengatakan:

Bentuk yang ketiga, barter dengan tujuan keduanya, seperti tukar tambah pedang, sementara pedang itu mengandung banyak emas atau perak. Untuk kasus ini, jika emas atau peraknya beratnya diketahui, dan ditukar dengan ada tambahan, di sana ada perbedaan pendapat. (Majmu’ al-Fatawa, 29/464).

 

Menurut Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyim (I’lam al-Muwaqqi’in, 4/32), transaksi ini dibolehkan. Karena kelebihan yang diberikan sebagai ganti dari proses produksi, dan tujuannya bukan untuk kamuflase riba. Sementara itu, Imam Malik, Imam as-Syafii, dan Imam Ahmad bahwa model transaksi semacam ini hukumnya terlarang mutlak. Karena ini merupakan termasuk riba. dan Dr. Soleh al-Fauzan menyatakan bahwa ini pendapat yang lebih mendekati dalam rangka syaddu ad-Dzari’ah (menutup celah) terjadinya riba. (Min Fiqh al-Muamalat, hlm. 110).


2.       Fatwa DSN MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 Tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai Dan Tukar Tambah Emas

Ketika terjadi penangguhan penyerahan perhiasan baru, harganya sudah tidak sesuai dengan kesepakatan yang di awal dengan dalih kenaikan harga emas. Kondisi seperti ini membuat pembeli tidak bisa membatalkan transaksi yang telah dilakukan.Menyikapi transaksi-transaksi yang berkaitan dengan emas terus berkembang, MUI melalui fatwa yang dikeluarkan setelah mempertimbangkan hal tersebut dengan melihat dan berpedoman kepada Al-Qur’an, hadis, kaidah fiqh dan ushul fiqh, serta setelah memperhatikan pendapat para Ulama akhirnya MUI mengeluarkan Fatwa DSN MUI No.77/DSN-MUI/V/2010 Tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai. Dalam fatwa tersebut diberikan keterangan bahwa jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah, hukumnya boleh (mubah, jaiz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang).[1]

Permasalahan di atas menunjukkan bahwa tukar tambah emas dalam  prakteknya tidak sesuai dengan fatwa DSN MUI No.77/DSN-MUI/V/2010. Menurut fatwa “Harga jual (tsaman) tidak boleh bertambah selama jangka waktu  perjanjian meskipun ada perpanjangan waktu”. Fatwa DSN MUI telah  memberikan ketentuan-ketentuan terkait syarat-syarat obyek emas dan harga emas. Bermuamalah harus dilakukan dengan memegang prinsip Islam, untuk  mewujudkan transaksi-transaksi yang benar. Sehingga  hukum yang sudah ada dan berjalan pada saat ini dapat dilandasi dengan nilai-nilai  Islam untuk membentuk tujuan hidup yang benar dan memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat Islam khususnya.

Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) melahirkan istilah Fiqh Muamalah Kontemporer, yaitu aturan-aturan Allah subhanahu wa ta’ala yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupannya yang berkaitan dengan harta kebendaan dalam bentuk transaksi-transaksi yang modern. Ruang lingkup fiqh muamalah kontemporer meliputi:

1. Persoalan transaksi bisnis kontemporer yang belum dikenal pada zaman klasik. Lingkup ini membahas setiap transaksi yang baru bermunculan pada saat ini. Seperti Cek, Saham, Obligasi, Reksadana, MLM, Asuransi dan seterusnya.

2. Transaksi bisnis yang berubah karena adanya perkembangan atau perubahan kondisi, situasi, dan tradisi/kebiasaan. Perkembangan teknologi yang semakin cepat dan canggih menghadirkan berbagai fasilitas dengan berbagai kemudahannya begitu pula dalam hal bisnis. Contohnya penerimaan barang dalam akad jual beli (possession atau qabd), transaksi e-bussiness, transaksi SMS.

3. Transaksi bisnis kontemporer yang menggunakan nama baru meskipun subtansinya seperti yang ada zaman klasik, misalnya bunga bank yang sejatinya adalah sama dengan riba. Walaupun riba telah berganti nama yang lebih indah dengan sebutan bunga, namun pada hakikat substansinya tetaplah sama di mana ada pihak yang menzhalimi dan terzhalimi, sehingga hukum bunga sama dengan riba yang telah jelas keharamannya dalam Al-Qur’an.

4. Transaksi bisnis modern yang menggunakan beberapa akad secara berbilang (multi akad atau al-‘uqud al-murakkabah atau hybrid contrac), seperti IMBT (Ijarah Muntahiya Bit Tamlik), Murabahah Lil Amiri Bi Syira, gabungan akad sharf dan hiwalah. Pada masa kontemporer ini ada beberapa akad yang dimodifikasi dalam suatu transaksi bisnis. Hal ini dapat dibenarkan atau diperbolehkan selama tidak sejalan dengan apa yang diharamkan dan memenuhi ciri-ciri hukum bisnis syariah. Berikut ini ada beberapa modifikasi akad klasik yang terjadi pada masa kontemporer:

a.     Hak intifa’ (memanfaatkan), contohnya wadi’ah yad dhamamah.

b.     Uang administrasi, contohnya qardhul hasan.

c.     Ujrah (fee), contohnya LC atau transfer.

d.     Kredit, contohnya murabahah.

e.     Muazzi (paralel) + kredit (muajjal atau taqshith), contohnya salam.

f.      Jaminan (rahn + kafalah), contohnya mudharabah.

g.     Perubahan sifat akad, contohnya wadi’ah (awalnya bersifat tidak mengikat menjadi mengikat).

h.     Janji (wa’ad), contohnya Ijarah Muntahiya bi Tamliq (IMBT).

i.      Wakalah.

DSN mengeluarkan Fatwa No. 77/DSN-MUI/V/2010 untuk menyikapi perkembangan kegiatan muamalah khususnya jual beli emas agar transaksi dilakukan tetap pada batasan-batasan hukum Islam.  Selain itu pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Kamis, tanggal 20 Jumadil Akhir 1431 H/03 Juni 2010 M; antara lain sebagai berikut:

a.     Hadis-hadis Nabi yang mengatur pertukaran (jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, serta emas dengan perak atau sebaliknya, mensyaratkan, antara lain agar pertukaran itu dilakukan secara tunai; dan jika dilakukan secara tidak tunai, maka ulama sepakat bahwa pertukaran tersebut dinyatakan sebagai transaksi riba; sehingga emas dan perak dalam pandangan ulama dikenal sebagai amwal ribawiyah (barang ribawi). 

b.     Jumhur ulama berpendapat bahwa ketentuan atau hukum dalam transaksi sebagaimana dikemukakan dalam poin 1 (satu) di atas merupakan ahkam mu`allalah (hukum yang memiliki ‘illat); dan ‘illat-nya adalah tsamaniyah, maksudnya bahwa emas dan perak pada masa wurud hadis merupakan tsaman (harga, alat pembayaran atau pertukaran, uang).Uang, yang dalam literatur fiqh disebut dengan tsaman atau nuqud (jamak dari naqd) didefinisikan oleh para ulama, antara lain sebagai berikut:

“Naqd (uang) adalah segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara umum, apapun bentuk dan dalam kondisi seperti apapun media tersebut”.

“Naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas”

c.     Definisi tentang uang di atas dapat dipahami bahwa sesuatu baik emas, perak maupun lainnya termasuk kertas, dipandang atau berstatus sebagai uang hanyalah jika masyarakat menerimanya sebagai uang (alat atau media pertukaran) dan (berdasarkan pendapat Muhammad Rawas Qal’ah Ji) diterbitkan atau ditetapkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas. Dengan kata lain, dasar status sesuatu dinyatakan sebagai uang adalah adat (kebiasaan atau perlakuan masyarakat). 

d.     Saat ini, masyarakat dunia tidak lagi memperlakukan emas atau perak sebagai uang, tetapi memperlakukannya sebagai barang (sil’ah). Demikian juga, Ibnu Taymiyah dan Ibnu al-Qayyim menegaskan bahwa jika emas atau perak tidak lagi difungsikan sebagai uang, misalnya telah dijadikan perhiasan, maka emas atau perak tersebut berstatus sama dengan barang (sil’ah). 

e.     Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan dengan memperhatikan kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqh sebagaimana dikemukakan pada bagian mengingat angka 3 (tiga), maka saat ini syarat-syarat atau ketentuan hukum dalam pertukaran emas dan perak yang ditetapkan oleh hadis Nabi sebagaimana disebutkan pada huruf (a) tidak berlaku lagi dalam pertukaran emas dengan uang yang berlaku saat ini.

 

KESIMPULAN

Praktik tentang tukar tambah perhiasan di mana pembeli yang ingin menukarkan perhiasan bersamanya dengan perhiasan emas yang baru dengan memberi tambahan uang. Tentang kebolehan praktek tukar menukar didasarkan pada sejumlah hadis nabi shallallahu alaihi wasallam antara lain pendapat jumhur ulama yang menunjukkan bahwa menjual emas dengan emas atau perak dengan perak itu tidak boleh kecuali sama dengan sama nilainya tidak ada salah satunya melebihi yang lain, karena terdapat banyak hadis yang menjelaskan tentang keharaman praktek tukar tambah emas di mana dalam praktek tersebut akan jatuh kepada riba fadhl. Bagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam dalam majemuk fatawa bahwa tukar tambah barang dibawa karena masalah bentuk misalnya tukar tambah cincin emas dengan emas batangan atau cincin lama dengan cincin baru jika ukuran emasnya diketahui dan di barter dengan adahan tambah maka para ulama berbeda pendapat.

Tetapi dalam rapat pleno dewan Syariah nasional MUI pada tanggal 20 Jumadil akhir atau 3 Juni dikatakan bahwa jumlah ulama berpendapat bahwa ketentuan atau hukum dalam transaksi sebagaimana dikemukakan bahwa tukar tambah emas itu diperbolehkan asal jelas akadnya dan antara pembeli dan penjual merasa Ridho dan diselesaikan dalam satu waktu tempat.

Dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini hukum tukar tambah emas masih menjadi perbedaan pendapat di antara para ulama, penulis sendiri mengambil kesimpulan bahwa alangkah baiknya jika kita mengambil suatu keputusan yang berhati-hati soal muamalah apalagi jika perkara yang masih samar-samar hukumnya.

Penulis : Muhammad Azizi Akbar Lubis dan Muhammada Syukri Albani Nasution


DAFTAR PUSTAKA

Abdul M. Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995)

Anonim, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007)

Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, (Semarang: CV. Toha Putra, 1995)

DSN MUI, Fatwa DSN MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 Tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai.

Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010, lihat Abdullah bin Sulaiman al-Mani’, Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami, (Mekah: al-Maktab al-Islami, 1996)

Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010, lihat Muhammad Rawas Qal’ah Ji, al Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah fi Dhau’ al- Fiqh wa al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Nafa’is, 1999)

Hajr Ibnu Al-Asqolani, Bulugh al-Maram, Terj. Muh Rifai, A. Qusyairi Misbah "Bulughul Maram", (Semarang: Wicaksana, 1989)

Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011)

Nur Ammi Baits, Tukar Tambah Perhiasan Emas, https://pengusahamuslim.com/5411-tukar-tambah-perhiasan-emas.html

Rahman Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995)

Rusyd Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Terj. Abdurahman, Haris Abdullah, “Bidayatul Mujtahid”, (Semarang: Asy-Syifa, 1990)

Suhendi Hendi,  Fiqh Muamalah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002)

Tim oasis. Ensiklopedia Anak-Anak Muslim, (Bandung : Pustaka Oasis, 2007)

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi 3, Cet. Ke—3, (Jakarta: Balai Pustaka, t. th)

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

--------

Simak berbagai berita pilihan dan terkini lainnya dari kami di Google News