Hukum Memanfaatkan Diskon pada Momentum Perayaan Agama Non-Muslim

MuamalahNews.com - Ketika mendekati momen perayaan agama lain (non-muslim), para penjual atau pengelola toko (baik offline maupun online) mengadakan banyak diskon besar-besaran. Bahkan sampai 90 persenan. Apalagi di kota-kota besar, program diskon yang ditawarkan cukup menarik bagi konsumen.

Sebagian orang berpendapat bahwa hukum membeli barang diskonan tersebut adalah haram, karena termasuk menyemarakan hari raya non-muslim, ada juga yang memberi alas an keharaman karena menyerupai perbuatan kaum non-muslim. Sebagian ada yang berpendapat boleh, karena menyangkut hukum dasar muamalah yang diperbolehkan, termasuk dengan pihak non-muslim.

Lalu, bagaimanakah sebenarnya hukum membeli barang diskonan dalam rangka perayaan agama lain tersebut?

Dua pandangan yang dimaksud pada muqaddimah di atas sama-sama mempunyai pembenaran secara fiqhiyyah. Pembenaran pendapat yang haram merujuk kepada referensi yang mengarah kepada keharaman meyerupai aktivitas kaum kafir, misalnya referensi di kitab Al-Mi’yar al-Mu’arrab, Fiqih Mazhab Maliki yang secara tegas menjelaskan keharaman menerima hadiah dari non-muslim saat perayaan agama lain, karena termasuk menyerupai perbuatan kafir.

Demikian pula haram memenuhi panggilan non-muslim di hari perayaan mereka, dan bersiap-siap untuk menyemarakkannya. Wajib bagi kita umat muslim menjadikan hari-hari tersebut sebagaimana hari-hari biasa saja.

Mirip dengan referensi di atas, Muhammad Syams Al-Haq Al-‘Azhim Al-Hanafi menjelaskan keharaman membeli saat perayaan hari raya Nairuz (hari raya non-muslim) dengan tujuan belanja biasa, tanpa tujuan mengagungkan hari raya non-muslim. Menurutnya, aktivitas tersebut merupakan perbuatan yang menyerupai kaum non-muslim. Beliau mengatakan:

“Dan berkata Al-Qadli abu Al-Mahasin Al-Hasan bin Manshur Al-Hanafi, orang yang membeli sesuatu saat perayaan hari raya Nairuz, yang tidak ia beli di hari lainnya atau menghadiahkan sesuatu kepada orang lain, jika bertujuan memuliakan hari raya itu seperti memuliakannya orang-orang non-Muslim, maka kufur. Apabila tujuan dari membeli untuk bersenang-senang atau refreshing, dengan cara menghadiahkan yang bertujuan saling mengasihi, sesuai kebiasaan di hari-hari sebelumnya, maka tidak tergolong kufur, namun makruh (tahrim) sebagimana kemakruhan (tahrim) menyerupai beberapa non-muslim, maka baiknyadijauhi. Pendapat ini diutarakan oleh Syekh Ali al-Qari.” (Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhim al-Hanafi, ‘Aun al-Ma’bud, Juzz 3, Hal. 342).

Penjelasan makruh dalam referensi di atas maksudnya ialah makruh tahrim, yang berkonsekuesi dosa bila dilakukan. Sebagaimana telah maklum dalam istilah Ulama Hanafiyah, apabila mereka membutlakan redaksi makruh, maka yang dimaksud adalah makruh tahrim.

Dari referensi-referensi di atas ditegaskan bahwa kewajiban seorang muslim adalah menjadikan hari-harinya seperti biasa, tidak ada yang perlu dispesialkan untuk menyambut atau menyemarakan agama non-muslim. Jika dalam kenyataanya memang benar bahwa dengan membeli barang-barang diskonan adalah identik dengan aktivitas non-muslim, maka referensi di atas menemukan ruang relevansinya tersendiri.

Akan tetapi, kita harus mengetahui ada pandangan lain yang membolehkan. Misalkan pendapat dari pemahaman Mazhab Hambali yang secara tegas menyebutkan kebolehan membeli barang-barang di pasar saat momen perayaan hari raya non-muslim.

Dalam pandangannya, bertransaksi saat momen hari raya agama lain bukan termasuk menyemarakan hari raya agama lain, bukan pula termasuk membantu kemaksiatan atau menyerupai aktivitas non-muslim. Yang diharamkan tersebut ialah turut serta hadir di tempat peribadatan dalam perayaan agama lain. Sedangkan aktivitas di luar itu, hukumnya boleh.

Imam Al-Bukhari dalam salah satu judul babnya mengenai pasar-pasar di masa jahiliyah, yang digunakan untuk jual beli masyarakat setelah datang islam. Beliau menerangkan dengan membawa riwayat keterangan dari Ibnu Abbas,

“Dulu, Ukadz, Majannah, dan Dzul Majaz adalah pasar-pasar di masa Jahiliyah. Setelah berkuasa, para sahabat merasa enggan untuk berdagang di sana. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya, (yang artinya) ‘Tidak ada dosa bagi kalian…’ ketika musim haji.” (HR. Bukhari 2098).

Terdapat beberapa keterangan para ulama yang membolehkan bagi kaum muslimin untuk mendatangi pasar yang diselenggarakan oleh kaum non-muslim dalam rangka momentum perayaan mereka. Al-Khallal menyebutkan keterangan dari salah satu murid Imam Ahmad, yang bernama Muhanna, beliau mengatakan:

”Saya pernah bertanya kepada Imam Ahmad tentang hukum mendatangi beberapa perayaan (nasrani) yang ada di Syam, sepeti Thuryanur, atau Dir Ayub, atau semisalnya. Kaum muslimin ikut menyaksikannya dan mendatangi pasar yang digelar di perayaan itu. Mereka membawa kambing, sapi, tepung, gadum, dan barang lainnya. Mereka hanya mendatangi pasarnya, untuk jual beli, dan tidak masuk ke kuil nasrani.” Jawaban Imam Ahmad, “Apabila mereka tidak sampai masuk ke kuil orang kafir, namun hanya datang ke pasarnya, tidak masalah. “ (Iqtidha as-Shirat al-Mustaqim, 1/517).

Pendiri Institut Muamalah Indonesia, KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi menjelaskan hukum menggunakan diskon dalam rangka hari raya non-muslim adalah boleh. Lalu beliau menjelaskan bahwa tidak mengapa bagi seorang muslim menggunakan diskon dalam berjual beli pada saat hari-hari raya non-muslim lainnya selama memenuhi dua syarat berikut:

Syarat pertama, barang-barang yang dibeli oleh umat islam tidak mengandung barang-barang khusus yang dipergunakan untuk menunjuk identitas (menyerupai) orang-orang kafir (tasyabbuh bil kuffaar). Kiai Shiddiq menjelaskan bahwa tasyabbuh bil kuffaar hukumnya haram sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam . 

“Man Tasyabbaha biqaumin fahua minhum” (Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).

Berjual beli barang-barang khusus untuk tasyabbuh bil kuffaar hukumnya haram. Misalnya kalung salib, pohon natal, topi sinterklas, dan semisalnya.

Jadi barang-barang seperti ini kalau kita membeli, hukumnya haram, karena ini barang-barang yang khas, terkait dengan simbol-simbol agama di luar Islam.

Menurut Kiayi Siddiq, ketika seorang Muslim membeli barang-barang yang tidak terkait dengan simbol-simbol khas perayaan agama non-Muslim, seperti membeli peralatan dapur atau peralatan tulis, hal itu diperbolehkan meskipun barang tersebut mendapat diskon pada hari raya non-muslim. Barang-barang tersebut tergolong barang umum yang digunakan oleh siapa saja dan tidak terikat dengan simbol-simbol agama atau hari raya non-muslim.

Kiayi Shiddiq mengatakan salib adalah barang khusus dan merupakan simbol agama umat nasrani yang mengandung makna bahwa Nabi Isa putra Maryam wafat disalib. Hal itu bertentangan dengan keterangan Alquran Surat An-Nisa:167 yang menjelaskan bahwa yang disalib adalah orang yang diserupakan wajahnya dengan Nabi Isa.

Kiayi Shiddiq menjelaskan jika jual beli untuk tasyabbuh bil kuffaar hukumnya haram maka haram juga hukumnya seorang Muslim  memanfaatkan diskon ketika membeli barang-barang tersebut. Hal itu karena diskon adalah persoalan cabang yang muncul dari persoalan pokok yaitu jual beli. Maka diskon sebagai persoalan cabang menjadi haram jika persoalan pokoknya yaitu jual belinya haram. Sebagaimana kidah fiqih idza saqatha al ashlu saqatha al far'u (Jika persoalan pokok telah gugur, maka gugur pula persoalan cabangnya).

Syarat kedua, ialah penjual atau toko yang memberi diskon tersebut tidak digunakan keuntungan yang diperolehnya untuk turut merayakan hari raya non-muslim yang ada. Hal ini bersandar pada kaidah fiqih, “Kullu bai'in a'ana 'ala ma'syiyatin haram” (setiap jual beli yang mendukung terjadinya suatu kemaksiatan hukumnya haram), selain itu kaidah lainnya yakni: “Al wasilah ilal haromi muharromah” (segala sesuatu perantaraan menuju yang haram, hukumnya haram pula). 

Jadi kalau jual beli itu menjadi perantara kepada yang haram, maka jual beli yang tadinya hukumnya boleh menjadi hukumnya haram. Dikatakan tidak boleh misalkan kita membeli sesuatu barang dari sebuah toko dan ternyata keuntungannya digunakan untuk merayakan hari raya agama non-muslim.

Jadi jika penjualnya diketahui dengan dugaan kuat bahwa ia akan menggunakan hasil penjualan untuk berpartisipasi dalam perayaan hari besar non-muslim tersebut, atau menggunakan hasilnya untuk mendukung maksiat tersebut, maka haram bagi umat Islam menggunakan diskon untuk jual beli pada hari perayaan agama non-muslim.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hukum membeli barang diskonan dalam momentum perayaan agama non-muslim merupakan persoalan yang diperselisihkan hukumnya. Karena termasuk permasalahan yang mukhtalaf fihi (diperdebatkan) dan ijtihadi, maka tidak perlu untuk diingkari. Yang terpenting adalah bagaimana masing-masing dapat menghormati dengan segala perbedaan pandangan yang ada.

Wallahu a’lam.


Penulis:

Reiza Abu Hudan
Penggiat Ekonomi Islam
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

--------

Simak berbagai berita pilihan dan terkini lainnya dari kami di Google News