Pandangan Islam Terhadapat Fenomena Marketer, Reseller, dan Dropshiper

Di zaman modern era digital seperti sekarang ini, model bisnis dengan teknik marketer, reseller, dan dropshipper menjadi marak. Karena pesatnya media komunikasi membuat proses bisnis dengan teknik tersebut menjadi lebih mudah. Apalagi di masa pandemi ini, kegiatan transaksi online menunjukan peningkatan yang cukup signifikan. Perdagangan seperti inilah yang sering dilakukan disebabkan berbagai kemudahannya.

Di dalam dunia bisnis online, sering memang ditemui istilah marketer, reseller, dan dropshiper. Ketiga istilah ini sering saling tercampur di dalam penggunaannya sehingga menjadi bias di dalam maknanya. Kita perlu memahami makna masing-masing dari istilah tersebut. Di sini penulis mencoba merangkum untuk mendudukkan setiap istilah dalam ranah kajian fikih muamalah. Sebelum menarik kesimpulan mengenai defenisi dari istilah-istilah tersebut penulis ingin menjabarkan perbedaan-perbedaannya.

Perbedaan Reseller dan Marketer

Kalau reseller:

  1. Beli barang dari pemiliknya dan tidak ada minimum order, hanya perlu beli dan dapatkan harga resellernya.
  2. Barang dari pemilik dikirim langsung ke reseller, dan reseller bisa menjual kembali barang dengan harga dinaikkan sesuka hati karena barang tersebut sudah menjadi miliknya, atau bisa disebut dengan sistem grosir.
  3. Barang dari pemilik dikirim langsung ke reseller barang tersebut dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi semau reseller karena barang tersebut sudah menjadi milik reseller atau bisa disebut sistem grosir.

Sedangkan marketer:

  1. Hanya mengiklankan
  2. Transfer pembeli harus langsung ke akun pribadi
  3. Dan pemasar mendapatkan bayaran yang ditentukan oleh tarif
  4. Barang dikirim langsung dari pemilik ke pembeli

Perbedaan Marketer dan Dropshiper

Kalau marketer :

  1. Hanya sebagai pihak pemasaran, pemasang iklan, dapat menjual barang dengan biaya yang telah disepakati di awal.
  2. Harga ditentukan oleh pemiliknya.
  3. Transfer atau pembayaran langsung dari pembeli ke pemilik.

Sementara dropshiper :

  1. Ialah penjual yang menjual barang tanpa mempunyai/memiliki barang, hanya memperlihatkan gambar-gambar atau materi lainnya.
  2. Ketika ada yang memesan, barang dikirim langsung dari pemilik ke pembeli tanpa melewati dropshiper.

Dapat ditarik kesimpulan:

Markrter adalah seorang pebisnis yang membantu menjualkan barang orang lain/produsen lalu mendapatkan fee dari penjualan tersebut.

Reseller adalah seorang pebisnis yang melakukan proses jual beli dengan langsung membeli barang dari grosir/supllier untuk disimpan sebagai stok kemudian dijual kembali kepada konsumen. Misalnya B adalah seorang reseller. Dia membeli barang kepada A sebagai grosir/supplier produknya. Produk yang dibeli disimpan di tempat B dan distok. Saat ada pembelian dari konsumen (sebut saja C) maka semua proses selanjutnya akan diselesaikan semua oleh B bukan A.

Hampir sama dengan reseller, yang dimaksud dropshiper adalah menjual barang-barang yang bukan produk mereka sendiri, dan bukan milik mereka. Bedanya dengan reseller, dropshipper tidak menyimpan stok produk sama sekali. Dropshipper melakukan penjualan online, setiap ada pesanan akan mereka sampaikan ke reseller, distributor, atau pabrikan. Pihak tersebut akan mengirimkan pesanan ke konsumen.

Problematika yang dihadapi dari bisnis kekinian seperti ini ialah tidak memiliki barang, maka akan dapat terkena hadist menjual barang yang bukan dimiliki. Beberapa solusinya ialah menjadi reseller kalau memang punya cukup modal. Sehingga barang dibuat siap stok, lalu bisa dijual dengan harga bebas. Sehingga kalau ada yang membeli cukup menerima permohonan saja (tidak bersifat mengikat). Namun beresiko terhadap pembatalan. Dan jika tidak mempunyai modal untuk menyediakan suatu barang solusinya ialah menjadi marketer (mempromosikan), bukan dropshipper.

Hakim bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya untuk mereka dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shallallahu ‘alaihi wa sallam shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud, no. 3503; An-Nasai, no. 4613; Tirmidzi, no. 1232; dan Ibnu Majah, no. 2187. Syaikh Al-Albani mengatakan hadist ini sahih). Perlu diketahui jikalau belum memiliki barang, tidak boleh menerima langsung akad jual beli. Barang yang dimohonkan dapat dibeli terlebih dulu. Setelah itu, menjawab permohonan pembeli dengan menghubunginya. Lalu pembeli diarahkan untuk mentransfer uang ke rekening miliknya. Kemudian, barang tersebut dikirimkan kepada pembeli. Toko online meminta khiyar syarat pada pemilik barang, di mana toko online menyaratkan untuk mengembalikan barang misal selama tiga hari sejak barang dibeli untuk menjaga-jaga apabila pembeli membatalkan transaksi.

Selain menjadi reseller ataupun marketer, dropsipper ternyata dapat juga berstatus sebagai “wakil” (wakil dari pembeli). Uang diserahkan, dan mendapat fee. Statusnya menjadi wakalah bil ujrah, atau bisa jadi: 1. Menjalin kerjasama dengan supplier. Biasanya dropshipper disuruh menjadi anggota; 2. Dropshipper yang tidak memiliki stok barang tapi mengiklankan barang dapat mendapatkan fee dengan status transaksi ijarah maupun ji’alah, yang keduanya adalah bentuk mengupahi. Ijarah adalah mengupahi seperti halnyapegawai. Sedangkan ji’alah adalah mengupahi dengan melihat target penjualan; 3. Dropshipper boleh menerima pembayaran karena sebagai wakil sama posisinya seperti penjual yang sudah diizinkan; 4. Boleh mengirim barang dari supplier ke konsumen karena sudah ada kerjasama wakalah; 5. Dropshipper harus bersiap menerima complaint dikarenakan konsumen mengetahui bertransaksi dengan dirinya. Di dalam suatu hadist, dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma dinyatakan, “Tidak boleh ada keuntungan tanpa menanggung resiko.” (HR. An-Nasai, no. 4634. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadist ini sahih).

Menurut fikih Islam, bisnis khususnya jual beli dengan skema di atas diperbolehkan dengan memenuhi ketentuan berikut.

Kriteria objek produk/jual yang tidak tunai dan al-maushufah fi dzimmah iharus halal dan jelas kriterianya agar tidak termasuk produk “ghoror” (tidak jelas) yang dilarang dalam Islam, sesuai dengan hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli (yang mengandung) ghoror."

Memenuhi unsur ijab kabul (shigat) yang menunjukkan keinginan jual beli dan ridho kedua belah pihak. Menurut mazhab Syafiiyah, bisnis reselling ini bisa melahirkan perpindahan kepemilikan dengan sekadar akad atau transaksi yang telah disepakati, sesuai dengan pendapat ulama: "Pembeli memiliki barang dan penjual memiliki harga barang dengan sekadar akad jual beli yang sah dan tanpa menunggu adanya serah terima (taqabudh)." (Mausu'atu wizaratul Auqaf, Kementerian Wakaf Kuwait, Juz 9, halaman 37.) Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) - MUI dan Standar Syariah Internasional AAOIFI memperbolehkan serah terima barang secara non-fisik (al-qabdh alhukmi) dan yang menjadi standart adalah terjadinya perpindahan kepemilikan.

Skema akad yang berlaku dalam transaksi reselling terdiri atas dua buah akad, yaitu akad jual beli tunai (cash) antara reseller dan supplier), dengan demikian supplier mendapatkan margin; kemudian akad jual beli tidak tunai antara reseller dan pembeli, yang mana harga dibayarkan dan barang dikirim kemudian.

Penjual harus menjelaskan secara jujur tentang objek jual beserta harganya. Begitu pula dengan reseller yang harus menjelaskan dengan jelas dan terbuka kepada konsumen.

Idealnya pembeli diberikan hak khiyar, yaitu opsi untuk membatalkan atau melanjutkan (jika barang yang dipesan/diterima tidak sesuai dengan pesanan atau criteria), pembeli bisa membatalkan jual beli dengan ganti rugi atau melanjutkan jual beli.

Kaidah yang patut diingat menurut ulama Malikiyah ketika membahas masalah pembagian keuntungan dalam syirkah al-‘inan (masing-masing memberi modal dan mereka bekerja bersama), “Orang berhak mendapatkan keuntungan, karena modal, usaha, atau menanggung resiko.” (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 4:609).

Wallahu a'lam bishawab.


Penulis: Reiza Abu Hudan Aflah Al-Irza

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

--------

Simak berbagai berita pilihan dan terkini lainnya dari kami di Google News