Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam, Bolehkah?

Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam, Bolehkah?

MuamalahNews.com - Merayakan pergantian tahun dari tahun ke tahun pada hakikatnya, tidak merayakan suatu hal yang baru, karena hal tersebut terus berulang tiap awal tahun pasti setiap negara menyambutnya dengan suka cita akan tetapi beda fantasi dan cara merayakannya saja.

Tahun baru adalah momen yang selalu dinantikan pada pergantian tahun yang semua orang berharap dan berdoa dengan harapan yang baru, yang tentunya meminta kepada Allah SWT Tuhan semesta Alam. Ummat Islam pada dasarnya mempunyai penanggalan tahun tersendiri yaitu tahun Hijriah, dimana juga memiliki jumlah bulan tahun yang sama berjumlah dua belas bulan dalam satu tahunnya, dimulai dari bulan Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Ula, Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Syawal, Zulkaidah, dan Dzulhijjah.

Pemakaian penanggalan bulan Islam dalam kalender hijriah diaplikasikan di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Pada saat itu sang khalifah telah dua setengah tahun memimpin ummat muslim yang sebelumnya dipimpin Khalifah Abu Bakar As Shiddiq. Khalifah Umar pada saat itu ingin membenahi administrasi dan persuratan hingga memerintahkan beberapa orang untuk menyelesaikan masalah ini. Akhirnya diciptakanlah penanggalan kalender hijriah yang memudahkan urusan administrasi pemerintahan pada saat itu hingga sekarang penanggalan Hijriah tersebut digunakan ummat Islam. Adapun rata rata jumlah hari dalam penanggalan bulan tahun hijriah berjumlah 29-30 hari perbulannya dan berjumlah 354 hari pertahunnya ini berdasarkan perputaran bulan terhadap bumi dengan tahun matahari, sehingga perputaran tahun hijriah lebih cepat dan berbeda kurang lebih 11 hari tiap tahunnya.

Lantas Bagaimana Islam Menyikapi Perayaan Pergantian Tahun Masehi?

Ulama dalam hal ini menyikapi ke dalam dua pendapat, sebagian melarang dan sebagian membolehkan untuk merayakan tahun baru Masehi.

Ulama yang melarang melakukan perayaan tahun baru Masehi sebagian besar mereka merujuk dalil dari hadits nabi Muhammad SAW

"Barang Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kelompok/ kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka". Menurut Ustadz Ahmad Sarwat, MA ( Direktur Rumah Fiqih Indonesia/ RFI) sebagian ulama yang mengharamkan perayaan tahun baru karena menyerupai orang Non-muslim. "Bahwa perayaan malam tahun baru pada hakikatnya adalah ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Nasrani atau pun agama lainnya," ujarnya.

Sejak datang dan masuknya ajaran agama Nasrani ke negara eropa, berbagai macam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran tersebut satu diantaranya adalah merayakan perayaan malam pergantian tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal. Oleh sebab itu, perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama non muslim. Berdasarkan hal tersebut, maka sebagian ulama menetapkan hukum perayaan malam pergantian tahun adalah haram dilakukan oleh umat Islam.

Sementara sebagian ulama berpendapat boleh melakukan suka cita datangnya tahun baru Masehi. Mereka beranggapan bahwasannya segala sesuatunya dilakukan berdasarkan niatnya. Walaupun ada yang beranggapan dimalam pergantian tahun tersebut terdapat tiga kegiatan sekaligus yang biasanya menjadi ritual dari peribadatan agama tertentu yaitu adanya suara terompet, lonceng dan kembang api. Selain itu menurut Da'i Muda Dr Arrazy Hasyim, MA menyambut tahun baru bukan termasuk ranah Ibadah dan akidah melainkan ranah muamalah karena tidak ada ibadah tertentu yang di khususkan untuk menyambut tahun baru tersebut dalam Islam, kalau melihat dari sisi fiqh (muamalah) emang ada kegiatan yang dilarang dalam perayaan penyambutan tahun baru yang tergolong perbuatan yang sia sia, hura hura dan mubazir yaitu membakar petasan, kembang api dan lain sebagainya, ujarnya.

Beliau juga menjelaskan mengenai sikap menyerupai suatu kaum disini yang dilarang adalah dalam ranah Ibadah bukan muamalah, karena Rasulullah SAW juga pernah Tasyabbuh (menyerupai) pekerjaan suatu kaum, sebagai hadits nabi SAW “Sesungguhnya Rasulullah saw. menyukai untuk menyamai Ahl al-Kitab dalam hal yang tidak diperintahkan (di luar masalah keagamaan), jadi apakah Nabi SAW disebut menyerupai ahli kitab? Kan tidak," ucapnya.

Jadi, demikianlah perbedaan pandangan ulama dalam menyikapi suka cita penyambutan malam pergantian tahun.


---------
Penulis:


Abi Waqqosh, S. E. I., M. E. I
Dosen Ekonomi Syariah STAI Syekh H Abdul Halim Hasan Al Ishlahiyah Binjai
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

--------

Simak berbagai berita pilihan dan terkini lainnya dari kami di Google News