Praktek Wakaf Antara Hukum Syariat Islam dan Hukum Positif

Praktek Wakaf Antara Hukum Syariat Islam dan Hukum Positif

MuamalahNews.com - Negara Republik Indonesia memiliki penduduk dengan mayoritas beragama Islam, dimana di dalam syariat Islam memiliki aturan untuk bermuamalah yang berhubungan dengan masyarakat sekitar, sementara Negara memiliki sejumlah peraturan yang disebut hukum positif untuk mengatur tentang muamalah bagi seluruh warga negaranya tanpa membedakan agama, suku bangsa, budaya, latar belakang pendidikan dan sosial sehingga seringkali banyak di kalangan umat Islam dalam melakukan ibadah yang berhubungan dengan muamalah tidak sesuai dengan anjuran Allah dan Rasulullah karena terbentur dengan seperangkat peraturan hukum positif yang berlaku sehingga terjadinya kesalahan penafsiran dan mengimplementasikan khususnya di bidang muamalah terutama dalam amal ibadah WAKAF.

Wakaf yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah pada tahun 622 Masehi, yaitu mewakafkan sebidang tanah untuk mendirikan Mesjid Quba di Propinsi Madinah, Arab Saudi, melalui pembelian sebidang tanah dari yatim piatu Sahl dan Suhail seharga 100 dirham, kemudian setelah Enam bulan melakukan pembinaan di Mesjid Quba, Rasulullah kemudian melakukan wakaf tanah untuk pembangunan Mesjid Nabawi di pusat kota Propinsi Madinah, Arab Saudi. (H.R. Al-Syaukani)

Sementara pandangan masyhur, individu pertama yang mengeluarkan harta untuk diwakafkan adalah Sayidina ‘Umar RA dengan mewakafkan 100 bahagian daripada tanah Khaibar kepada umat Islam. Anaknya Abdullah bin Umar RA menyatakan bahawa ayahnya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar lalu dia datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta pandangan tentang tanah itu, maka katanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapat sebidang tanah di Khaibar, dimana aku tidak mendapat harta yang lebih berharga bagiku selain daripadanya, (walhal aku bercita-cita untuk mendampingkan diri kepada Allah) apakah yang engkau perintahkan kepadaku dengannya?

"Maka sabda Rasulullah SAW, “Jika engkau hendak, tahanlah (bekukan) tanah itu, dan sedekahkan manfaatnya.” “Maka ’Umar telah mewakafkan hasil tanahnya itu, sesungguhnya tanah itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibah (diberi) dan diwarisi kepada sesiapa.” Katanya lagi: “’Umar telah menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba yang baru merdeka, pejuang-pejuang di jalan Allah, Ibnus Sabil dan para tetamu. Tidaklah berdosa sesiapa yang menyelia tanah wakaf itu memakan sebahagian hasilnya sekadar yang patut, boleh juga ia memberi makan kawan-kawannya, tetapi tidaklah boleh ia memilikinya. (Ali, Jawwad (2019) [1956-1960]. Kurnianto, Fajar, ed. Sejarah Arab Sebelum Islam, Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan]. Diterjemahkan oleh Ali, Jamaluddin M.; Hendiko, Jemmy. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 168–169

Beberapa pengertian wakaf yang berkembang saat ini dan banyak dipergunakan telah disampaikan oleh beberapa Imam Mazhab, seperti:

Imam Abu Hanifah, pengertian wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap di wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Oleh sebab itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”.

Mazhab Imam Maliki, berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakat tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadi menfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang.

Imam Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Jika wakif wakaf, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannnya kepada mauquf’alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksa agar memberikannya kepada mauquf’alaih.

Praktek Wakaf di Indonesia memiliki dualisme hukum yang bersumber dari hukum syariat Islam dan hukum positif. Dalam hukum syariat sumber hukum berasal dari AL Quran dan As Sunnah/Al Hadits sedangkan dalam hukum positif dikelompokkan menjadi: Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf; Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Jenis Harta Wakaf menurut pasal 16 UU No. 41 Tahun 2004, dibedakan menjadi harta benda tidak bergerak (tanah) dan harta benda bergerak; yang lebih jauh pengertian harta benda wakaf dikembangkan sebagaimana disebutkan di dalam pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 bahwa harta benda wakaf terdiri dari harta benda tidak bergerak, harta benda bergerak selain uang dan harta benda bergerak uang.

Di dalam pembahasan kali ini, penulis akan mengutamakan pembahasan pada harta benda wakaf berupa barang tidak bergerak; barang bergerak berupa uang dan barang bergerak selain uang seperti surat berharga, emas dan kendaraan bermotor yang pada umumnya dilakukan di berbagai lapisan masyarakat yang sesuai dengan hukum syariat Islam dan hukum positif.

Wakaf Tanah

Perbuatan wakaf tanah sebagai harta benda tidak bergerak, menggunakan dualisme system yaitu hukum syariat Islam berupa Al Quran dan As Sunnah hukum positif yang bersumber dari Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang agrarian.

Adapun perbuatan wakaf untuk memenuhi dualisme ketentuan tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut, "Wakif menyerahkan Tanah kepada Nazhir di hadapan Pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk membuat pernyataan wakaf yang berbentuk Akta Ikrar Wakaf (AIW), dan selanjutnya akta ikrar wakaf tersebut di daftarkan pada Kantor Pertanahan setempat untuk mendapatkan Sertifikat Tanah Wakaf”.

Tanah sebagai harta benda tidak bergerak yang akan diwakafkan, memiliki persyaratan yang harus dipenuhi seperti: adanya tanda bukti hak kepemilikan yang berupa sertifikat atau akta jual beli (apabila tanah yang diwakafkan belum bersertifikat). Dalam hal tanah yang akan diwakafkan belum bersertifikat maka wajib menyertakan tanda bukti lainnya seperti, “bekas hak eigendom, verponding, kikitir, girik dan sejenisnya; surat pernyataan tidak bersengketa yang dibuat oleh calon wakif yang disahkan oleh Kepala Kelurahan dan Kepala Kecamatan; Letter-C dari Kelurahan yang menyatakan tentang riwayat tanah tersebut.”

Wakaf Uang

Perbuatan wakaf uang yang diatur di dalam Undang-undang No. 41 tahun 2004, tidak dapat mengesampingkan berlakunya hukum syariat Islam sebagaimana dinyatakan di dalam HR. Al-Syaukani yaitu harta wakaf adalah berupa sebidang tanah seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan Sahabat yaitu sebidang tanah untuk pembangunan mesjid dan melayani kepentingan sosial, sehingga perbuatan wakaf dengan menggunakan uang menjalani proses sebagai berikut, “Wakif menyerahkan sejumlah uang kepada Nazhir yang kemudian Nazhir membelikan sebidang tanah yang akan diwakafkan, kemudian tanah yang sudah dibeli dibuatkan Akta Ikrar Wakaf (AIW) dihadapan Pejabat Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai PPAIW, lalu setelah diterimanya AIW maka Nazhir melakukan pendaftaran pada Kantor Pertanahan setempat untuk mendapatkan sertifikat tanah wakaf”.

Wakaf Surat Berharga Berupa Saham

Perbuatan wakaf saham tidak lepas dari peraturan yang terdapat di dalam Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang juga tidak dapat mengesampingkan berlakunya hukum yang berdasarkan syariat Islam, sehingga perbuatan melakukan wakaf dengan menggunakan sertifikat saham menjalani proses sebagai berikut, “Wakif yang merupakan salah satu pemegang saham dari suatu perseroan terbatas, maka para pemegang saham terlebih dahulu harus menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan atau Luar Biasa (RUPS/RUPSLB) untuk mendapatkan persetujuan dari Rapat bahwa perseroan atau salah satu pemegang saham akan mengalihkan saham kepada pihak lain (Nazhir) dalam bentuk perbuatan wakaf. Kemudian Akta Pernyataan Keputusan RUPS/RUPSLB di daftarkan pada Kementrian Hukum, Perundang-undangan dan Hak Azasi Manusia dan/atau Instansi Pemerintah terkait untuk diketahui dan/atau dilakukan perubahan atas susunan pemegang saham pada Anggaran Dasar Perseroan. Selanjutnya pada saat perseroan terbatas melakukan pembagian keuntungan berupa deviden kepada Pemegang Saham yang berbentuk uang pada akhir tahun buku perseroan yang berakhir 31 Desember, maka uang yang diterima oleh Nazhir dibelikan sebidang tanah untuk di wakafkan, dimana Wakif yang akan disebutkan di dalam AIW adalah salah satu pemegang saham dari perseroan terbatas yang mengeluarkan sahamnya untuk diwakafkan".

Wakaf Surat Berharga, Berupa Sertifikat Deposito Atau Obligasi

Perbuatan wakaf yang mempergunakan surat berharga berupa sertifikat deposito dan/atau obligasi tunduk pada hukum yang mengaturnya sebagaimana dimaksud di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan juga tidak terlepas dari hukum syariat Islam, akan menjalani proses sebagai berikut, “Wakif sebagai pemilik dan pemegang surat berharga yang sah menyerahkan surat berharga tersebut kepada Nazhir, yang kemudian Wakif bersama Nazhir akan melakukan proses baliknama sertifikat surat berharga dimaksud di kantor penerbit surat berharga tersebut dari atas nama Wakif menjadi atas nama Nazhir. Kemudian, pada saat surat berharga tersebut menghasilkan sejumlah uang maka uang diserahkan kepada Nazhir yang selanjutnya uang yang diterima dipergunakan untuk membeli sebidang tanah untuk diwakafkan, dimana wakif yang dicantumkan di dalam AIW adalah pemilik awal dari surat berharga yang diserahkan kepada Nazhir".

Wakaf Emas dan Kendaraan Bermotor

Perbuatan wakaf yang mempergunakan emas dan kendaraan bermotor tunduk pada hukum yang mengaturnya sebagaimana dimaksud di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan juga tidak terlepas dari hukum syariat Islam, akan menjalani proses sebagai berikut, "Wakif sebagai pemilik dan yang menguasai emas dan kendaraan bermotor menyerahkan secara phisik emas dan kendaraan bermotornya kepada Nazhir, disertai dengan surat-surat bukti kepemilikannya seperti: kwitansi pembelian, sertifikat kepemilikan, buku tanda kepemilikan kendaraan bermotor (bpkb) dan faktur pajak terkait dengan proses kepemilikan emas dan kendaraan bemotor pada awalnya oleh Wakif. Setelah Nazhir menerima penyerahan physic harta benda wakaf tersebut kemudian Nazhir menjualnya untuk mendapatkan uang tunai yang akan digunakan untuk membeli sebidang tanah untuk diwakafkan. Setelah mendapatkan penguasaan secara hokum tanah yang akan diwakafkan maka Nazhir beserta Wakif mendatangi Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai PPAIW yang akan membuatkan Akta Ikrar Wakaf (AIW) dimana nama Wakif selaku pemilik dan penguasa yang sah atas emas dan kendaraan bermotor akan dicantumkan di dalam AIW".

Sebagai umat muslim yang beriman, maka segala aktifitas yang dilakukan adalah termasuk aktifitas beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala sehingga segala bentuk ibadah yang dilakukan diwajibkan untuk mengikuti tuntunan yang terdapat di dalam Al Quran dan As Sunnah/Al Hadits, sebagai berikut:

Firman Allah Subhanahu Wata’ala, “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridai) Allah?....” (QS. As-Syura 42: Ayat 21).

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alihi wa salam bersabda, “Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”. (HR. Bukhari No. 20 dan HR. Muslim No. 1718).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Barang siapa melakukan amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Muslim No. 1718).

Begitu pula hadits riwayat Al ‘Irbadh bin Sariyah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Hati-hati dengan perkara baru dalam agama. Karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”. (HR. Abu Daud No. 4607; HR. Tirmidzi No. 2676; HR. An Nasa-i No. 46. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dengan demikian maka, praktek wakaf selain tanah harus menjalankan proses dari harta benda yang diwakafkan sampai dengan harta benda tersebut berubah menjadi sebidang tanah, sementara saat ini praktek wakaf selain tanah secara langsung digunakan sehingga tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah, atau dapat dikatakan sebagai suatu kebathilan (bid’ah).

Jazaakumulloh khoiron

----------
Penulis,

Setiono Winardi, SH. MBA
Konsultan Syariah dan Penggiat Wakaf
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

--------

Simak berbagai berita pilihan dan terkini lainnya dari kami di Google News