Bathilnya Praktek Wakaf Zaman Modern dan Solusinya

Bathilnya Praktek Wakaf Zaman Modern dan Solusinya

MuamalahNews.com - Rasulullah SAW merupakan perintis kepada amalan wakaf berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Syaibah daripada ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’az yang bermaksud: 

“Kami bertanya tentang wakaf yang terawal dalam Islam? Orang-orang Ansar mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW". [Hadis Riwayat Al-Syaukani]

Orang Jahiliyah tidak mengenali akad wakaf yang merupakan sebahagian daripada akad-akad tabarru’,[ Ali, Jawwad (2019) (1956-1960). Kurnianto, Fajar, ed. Sejarah Arab Sebelum Islam–Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan). Diterjemahkan oleh Ali, Jamaluddin M.; Hendiko, Jemmy. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 168–169. ISBN 978-602-6577-28-3]

Lalu Rasulullah SAW memperkenalkannya karena beberapa ciri istimewa yang tidak wujud pada akad-akad sedekah yang lain. Institusi terawal yang diwakafkan oleh Rasulullah SAW ialah Masjid Quba yang diasaskan sendiri oleh Baginda SAW saat tiba di Propinsi Madinah, Arab Saudi pada 622M atas dasar ketaqwaan kepada Allah Subhahanahu Wa Ta'alla, lalu wakaf Masjid Nabawi enam bulan selepas pembinaan Masjid Quba’. Diriwayatkan bahwa Baginda SAW membeli tanah bagi pembinaan masjid tersebut daripada dua saudara yatim piatu iaitu Sahl dan Suhail dengan harga 100 dirham.

Dewasa ini, banyak penggunaan istilah wakaf yang diterapkan pada praktek sedekah/infaq sehingga membuat pengertian wakaf menurut tuntunan Rasulullah menjadi kabur, seakan-akan umat Islam bebas menentukan harta benda yang dimiliki untuk di Wakafkan.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَا عَ اللّٰهَ ۚ وَمَنْ تَوَلّٰى فَمَاۤ اَرْسَلْنٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا

"Barang siapa menaati Rasul (Muhammad) maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barang siapa berpaling (dari ketaatan itu) maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 80)

Dan,

فَمَنْ كَا نَ يَرْجُوْا لِقَآءَ رَبِّهٖ فَلْيَـعْمَلْ عَمَلًا صَا لِحًـاوَّلَايُشْرِكْ بِعِبَا دَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا

"..... Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya."(QS. Al-Kahf 18: Ayat 110)

Dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” [HR. Bukhari no. 20 dan HR. Muslim no. 1718]

Harta kekayaan yang dapat dijadikan harta wakaf, menurut Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dalam pasal 16 ayat 1, membedakan harta benda bergerak dan harta benda tidak bergerak; dan di dalam ayat 2 menjekaskan tentang harta benda tidak bergerak berupa tanah dan segala sesuatu yang berada di atas tanah tersebut.

Sedangkan di dalam pasal 16 ayat 3 menyebutkan, bahwa harta kekayaan yang dapat dijadikan harta wakaf adalah harta yang mempunyai nilai ekonomi dan tidak habis dikonsumsi seperti: uang; logam mulia; surat berharga; kendaraan; hak atas kekayaan intelektual; hak sewa; dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bathilnya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf terletak pada pengembangan penafsiran dari Hadits Riwayat As Syaukani tentang perbuatan Wakaf yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah berupa Mesjid Quba melalui pembelian tanah seharga 100 dirham.

Pengertian Wakaf sendiri berarti menahan bentuk pokok dan menjadikannya untuk fii sabilillah sebagai bentuk qurbah (pendekatan diri pada Allah). (Lihat Minhah Al-‘Allam, 7: 5)

Sedangkan pengertian mendekatkan diri kepada Allah adalah melakukan ibadah yang sesuai dengan tuntunan yang sudah diberikan, sehingga berlaku kaidah fikih yang cukup ma’ruf di kalangan para ulama,

الأصل في العبادات التحريم

“Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).”

Menurut Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri, "(Dengan kaedah di atas) tidak boleh seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah kecuali jika ada dalil dari syari’at yang menunjukkan ibadah tersebut diperintahkan. Sehingga tidak boleh bagi kita membuat-buat suatu ibadah baru dengan maksud beribadah pada Allah dengannya. Bisa jadi ibadah yang direka-reka itu murni baru atau sudah ada tetapi dibuatlah tata cara yang baru yang tidak dituntunkan dalam Islam, atau bisa jadi ibadah tersebut dikhususkan pada waktu dan tempat tertentu. Ini semua tidak dituntunkan dan diharamkan.” (Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 90).

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اَمْ لَهُمْ شُرَكٰٓ ؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِۢهِ اللّٰهُ ۗ

"Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridai) Allah?...." (QS. Asy-Syura 42: Ayat 21)

Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf yang dapat dikatakan sebagai hasil ijtima para ulama, tidak lagi diperkenankan karena sudah adanya kesepakatan para Sahabat sampai Tabiut Tabi'in dan para alim ulama dan pemuka masyarakat yang diadakan pada zaman Al-Imam al-Hafidz Abu al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi bin Mas'ud bin an-Nu'man bin Dinar bin Abdullah al-Baghdadi ‎atau lebih dikenal dengan ad-Daruquthni, Dar al-Quthn, Bagdad, Irak, pada tahun 306 Hijriyah/884 Masehi bahwa pembuatan, penafsiran suatu hukum tidak lagi dibutuhkan yang disebabkan sudah banyak hadits yang dikeluarkan berjumlah lebih dari 70.000 hadits.

Untuk menyelaraskan praktek wakaf di zaman modern agar sesuai dengan tuntunan sunnah, khusus untuk harta benda bergerak sebagai berikut;

Uang yang dijadikan alat untuk berwakaf, dirubah menjadi tanah dengan cara membeli sebidang tanah yang akan ditujukan untuk melakukan wakaf, dan bisa juga dengan cara mengumpulkan sejumlah uang dari beberapa umat Islam yang nantinya bilamana uang sudah terkumpul dibelikan sebidang tanah yang ditujukan untuk melakukan perbuatan wakaf sesuai syar'i.

Barang bergerak lain selain uang yang akan dijadikan harta benda wakaf, maka barang bergerak tersebut harus dirubah terlebih dahulu menjadi barang tidak bergerak berupa tanah, atau barang bergerak selain uang harus dirubah menjadi uang yang kemudian, uang tersebut digunakan untuk membeli/membebaskan tanah yang akan digunakan sebagai harta wakaf.

Barang bergerak selain uang, ada yang tidak serta merta dapat dikonversi menjadi uang, seperti saham, surat berharga (obligasi, deposito dan lainnya) yang memerlukan proses lebih lanjut, contoh saham.

Penyerahan surat fisik saham belum cukup dikatakan sebagai terjadinya pemindahan kepemilikan dari pemilik lama ke pemilik baru, karena dibutuhkannya perbuatan hukum lainnya seperti RUPS/RUPSLB dan pengesahan dari Kementrian Hukum, HAM dan Perundang-undangan.

Sedangkan penyerahan surat berharga lainnya, contoh sertifikat deposito, obligasi dan/atau sukuk, harus dilakukan balik nama menjadi atas nama Nazhir atau wakil Nazhir, dan kemudian Nazhir dapat menerima uang tunai untuk dibelanjakan harta benda yang dapat menjadi obyek wakaf.

Dengan adanya proses lebih lanjut pada saat melakukan akad wakaf dari harta benda selain tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.41 tahun 2004 tentang wakaf, maka ikrar wakaf yang dibuat pada saat itu belum menjadi sah sampai dengan terjadinya perubahan bentuk dari harta yang diwakafkan (selain tanah) menjadi harta wakaf berupa tanah.

Efek yang ditimbulkan dari kebathilan akibat berlakunya Undang-undang tentang wakaf ini antara lain, terjadinya berbagai bentuk tindakan penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan dalam melakukan pengelolaan harta wakaf selain tanah, sehingga maksud dan tujuan mulia dari ajaran Rasulullah menjadi tidak tercapai.

Akhir kata, dengan keluarnya tulisan ini dapat menjadi peringatan bagi kita semua bahwa banyak peluang peyimpangan yang harus dicegah karena, niat buruk akan timbul bilamana ada peluang kejahatan, atau lebih baik tidak memberikan peluang terhadap pelaku kejahatan yang akan dilakukan oleh kaum munafikun dan/atau fasik.


Jazaakumullah Khoiran


------
Penulis,

Setiono Winardi, SH., MBA
Konsultan Bisnis Syariah dan Penggiat Wakaf
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

--------

Simak berbagai berita pilihan dan terkini lainnya dari kami di Google News