Memaknai Konsep Rezeki Dalam Perspektif Ekonomi Islam

MuamalahNews.com - Pemaknaan hakikat rezeki tak jarang menjadi perdebatan yang dapat mempengaruhi nilai-nilai dalam masyarakat. Mulai dari spekulasi ringan yang bersifat materialis bahwa rezeki merupakan pendapatan dari hasil usaha atau hingga merembet pada kepercayaan bahwa rezeki adalah Kuasa Tuhan yang dapat diperoleh tanpa usaha manusia. Konsep rezeki memang seharusnya menjadi pembahasan yang serius, apalagi rezeki seringkali terkait dengan persoalan ekonomi. Namun, sayangya konsep rezeki jarang sekali dibahas oleh para ahli-ahli ekonom. Konsep rezeki hanya muncul pada bagian-bagian yang membahas tentang penghasilan, kebutuhan ataupun hak milik saja. Yang mana semuanya hanya dikaitkan dengan peran manusia sebagai pengelola sumber daya Alam. 

Adapun menurut Ibn Khaldun wujud peranan manusia itu menghasilkan suatu nilai yang ditimbulkan oleh hasil kerja. Untuk menelaah makna Rezeki secara lebih mendalam maka diperlukan diskursus yang membahas mengenai rezeki ini melalui nilai-nilai yang fundamental. Islam sebagai agama Rahmattan Lil Alamin membahas segala persoalan kehidupan secara Kaffah, termasuk pembahasan mengenai hakikat Rezeki. Diharapkan dengan menelaah nilai-nilai Al-Qur’an maka didapati perumusan konsep rezeki yang lebih luas dan substantif. Yang mana perumusan itu dapat dijadikan solusi dari berbagai permasalahan kehidupan, terutama solusi pada persoalan ekonomi.

Kata Rizq berasal dari kata Razaqa-yarzuqu-rizqan. Kata Rizki ini dengan semua turunannya telah disebut sebanyak 123 kali di dalam Alquran. Al Rizq dalam Al-Quran memiliki banyak makna seperti Al-Atha (pemberian/Anugerah), Al-Tha’am (makanan), Al-Fakihah (Buah-buahan), Al-Mathar (hujan), Al-Nafaqah (nafkah), Al-Syukr (bersyukur), Al-Tsawab (Pahala), Al-Jannah (Surga).Didalam Al-Qur’an yang dimaksud dengan rezeki tidak hanya yang tampak secara material saja, seperti makanan, buah-buahan ataupun pakaian yang dapat digunakan. Lebih dari itu, konsep rezeki menurut alqu’an adalah seagala sesuatu yang diberikan Allah kepada manusia baik yang berwujud maupun tidak berwujud yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Yang mana cara memperolehnya haruslah sesuai dengan syariat islam.

Ekonomi islam atau yang biasa disebut dengan Ekonomi syariah sering kali digadang sebagai penengah dari masalah perekonomian konvensional yang kerap kali terjadi ketidakadilan. Manusia yang memiliki tugas sebagai khalifah dimuka bumi sudah menjadi fitrahnya untuk mendapatkan ataupun memberi keadilan. Adapun tugasnya sebagai khalifah adalah agar manusia dapat mengelola sumber-sumber alam menjadi sesuatu yang bermanfaat. Maka perwujudan dari perannya sebagai khalifah tersebut adalah sesuatu yang diciptakan dari hasil kerja manusia itu sendiri. Oleh karena itu apa yang diusahakan manusia itu akan terlihat dari apa yang ia kerjakan. Dalam penafsiran dawam dituliskan bahwa Allah SWT adalah sumber rezeki.

Menurut Munzir Qhohaf rezeki Allah itu sangat luas dan sudah ditentukan. Hal ini tercantum dalam surah Al-Qur’an (Q.S.Abasa: 24-32), (Q.S Ar-Ra’d: 26), (Q.S.Al-Ankabut: 60&62), (Q.S.Ar-Rum: 37&40), (Q.S.Saba’: 24,36 &39), (Q.S.Fatir: 3), (Q.S. As-Syuara: 79),(Q.S.An-Nahml: 64), (Q.S.Gafir: 64), (Q.S.Al-Hazr:20), (Q.S.Az-Zariyat:57-58), (Q.S.Ali-Imran:26-27),(Q.S.Al Isra’70),(Q.S.An-Nahl:75,114),(Q.S.Yunus:59),(Q.S.Yasin:47),(Q.S.Quraish:3-4).

Setiap rezeki manusia telah dijamin oleh Allah Swt, hal ini tertuang didalam Al-Qur’an Surah Hud ayat 6:Artinya: Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.

Namun, meskipun setiap rezeki manusia telah diatur oleh Allah SWT, ini bukan pula mengartikan bahwa setiap manusia dapat memperoleh rezeki tanpa melakukan usaha. Yang harus digaris bawahi adalah yang menjamin setiap manusia memperoleh rezeki adalah Allah SWT. Yang mana atas kehendak Nya telah diatur bagaimana tatanan kehidupan yang baik. Mulai dari aturan maupun hukum hingga kepada kemampuan dari pada setiap makhluk.

Selain itu, seseorang tidak akan memperoleh rezeki selain dari apa yang telah dia usahakan hal ini senada dengan apa yang disampaikan pada (Q.S Al Najm(16):39). Usaha tersebut tidak hanya meliputi individu saja.

Namun, ini juga berhubungan dengan usaha atau yang dikerjakan orang lain. Jadi hal ini sangat berkaitan dengan sistem. Misalnya seperti didalam sistem kapitalis, yang bekerja adalah kaum buruh yang mendapatkan upah dari hasil menjual tenaganya. Dan didalam islam juga diyakini bahwa seorang manusia tidak dapat melakukan ataupun memperoleh keuntungan dengan usahanya sendiri,maka diperlukan kerja sama dengan orang lain.

Untuk itu, dalam pandangan islam hak setiap orang memperoleh rezeki dibarengi dengan adanya tanggung jawab sosial sebagaimana didalam Islam dikatakan bahwa dalam kekayaan seseorang ada hak orang miskin yang harus diberikan (Q.S Al-Zariyat(51): 19).  

Selain itu, rezeki belumlah dikatakan rezeki yang baik apabila rezeki itu tidak mendatangkan suatu manfaat. Menurut Ibnu kaldun jika orang tidak mampu memanfaatkan darinya untuk kemaslahatan dan kebutuhan kebutuhannya maka dinisbatkan kepadanya maka bukankah disebut dengan rezeki. Bagi orang-orang tersebut yang memiliki dengan usaha dan kemampuannya hal itu disebut dengan kasb atau hasil usaha. Dan tidak disebut rezeki karena orang tersebut belum memanfaatkannya. Sedangkan apabila orang yang mewarisi dan mereka dapat mengambil manfaatnya hal itu dinamakan rezeki.


Penulis:

Abi Waqqosh
Dosen STAI Al Ishlahiyah Binjai 
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

--------

Simak berbagai berita pilihan dan terkini lainnya dari kami di Google News